Epilog: Hidup Selamanya (1)

  Tirai panggung mulai jatuh seiring nafasku seakan ajal menjemput. Bertanya pada sang diri apa yang dikesali saat hanyut dengan manisnya duniawi. Rasa salah menguasai batin dan penonton mulai mengerdik. Takutnya pada ekspresi sehingga sembunyi dalam hati. Akhirnya tinggal sendiri dihujung tebing bertepian Lautan Hindi.

  Tapi aku senang dengan menjadi diriku saat ini. Aku bisa berteriak sekuat hati. Saat aku berpegangan dengan perasaan yang berpanjangan, aku masih mampu berdiri di atas panggung ini.



  dan seketika waktu di atas panggung, tiba-tiba aku merasa takut dengan kehampaan. Perasaan yang bercampur-aduk, dengan hidupku di persimpangan jalan.Namun, aku berpura-pura tidak peduli. Ini bukan pertama kali. Sepatutnya sudah terbiasa dengan stigma ini.

  Aku sedar hanya aku sendiri di panggung usang ini. Tiada penonton yang bersorak meriah saat bila klimaks memuncak. Lampu pentas menyuluh sinar tepat ke jasad namun tiada tepukan gemuruh melainkan kawanan kerusi kosong. Apakah sudah diakhir cerita? sebuah kisah hikayat seorang pemuda namun tiada siapa yang tertawan dengannya.

Hiba kian terasa

Biarlah duka dan resah berlalu pergi. Lalu, sutradara menyeru aku kembali;


"Teruskan bermimpi janganlah kamu berhenti, biarlah mereka jangan sesekali menagih simpati. Teruskan berkarya sehingga kamu mati. Kamulah watak utama di pentas panggung ini."






Ulasan

Catatan Popular